![]() |
sumber : facebook |
Punya suami yang kasar? Kaku? Garing dan susah memahami perasaan istrinya? Tidak mesra dgn anak? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ibunya ketika masa anak sebelum aqilbaligh.
Punya suami yang "sangat
tergantung" pada istrinya? Bingung membuat visi misi keluarga bahkan galau
menjadi ayah? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ayahnya ketika masa
anak.
Kok sebegitunya?
Ya! karena figur ayah dan ibu harus ada
sepanjang masa mendidik anak anak sejak lahir sampai aqilbaligh, tentu agar
fitrah seksualitas anak tumbuh indah paripurna.
Pendidikan fitrah seksualitas berbeda dengan
pendidikan seks. Pendidikan fitrah seksualitas dimulai sejak bayi lahir.
Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana
seseorang berfikir, merasa dan bersikap sesuai fitrahnya sebagai lelaki sejati
atau sebagai perempuan sejati.
Menumbuhkan Fitrah ini banyak tergantung pada
kehadiran dan kedekatan pada Ayah dan Ibu.
Riset banyak membuktikan bahwa anak anak yang
tercerabut dari orangtuanya pada usia dini baik karena perang, bencana alam,
perceraian, dll akan banyak mengalami gangguan kejiwaan, sejak perasaan
terasing (anxiety), perasaan kehilangan kelekatan atau attachment, sampai
kepada depresi. Kelak ketika dewasa memiliki masalah sosial dan seksualitas
seperti homoseksual, membenci perempuan, curiga pada hubungan dekat dsbnya.
Jadi dalam mendidik fitrah seksualitas, figur
ayah ibu senantiasa harus hadir sejak lahir sampai AqilBaligh. Sedangkan dalam
proses pendidikan berbasis fitrah, mendidik fitrah seksualitas ini memerlukan
kedekatan yang berbeda beda untuk tiap tahap.
Usia 0-2 tahun, anak lelaki dan perempuan
didekatkan pada ibunya karena ada menyusui, di usia 3 - 6 tahun anak lelaki dan
anak perempuan harus dekat dengan ayah ibunya agar memiliki keseimbangan
emosional dan rasional apalagi anak sudah harus memastikan identitas
seksualitasnya sejak usia 3 tahun.
Kedekatan paralel ini membuat anak secara
imaji mampu membedakan sosok lelaki dan perempuan, sehingga mereka secara
alamiah paham menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya, baik cara bicara, cara
berpakaian maupun cara merasa, berfikir dan bertindak sebagai lelaki atau
sebagai perempuan dengan jelas. Ego sentris mereka harus bertemu dengan
identitas fitrah seksualitasnya, sehingga anak di usia 3 tahun dengan jelas
mengatakan "saya perempuan" atau "saya lelaki"
Bila anak masih belum atau tidak jelas
menyatakan identitas gender di usia ini (umumnya karena ketiadaan peran ayah
ibu dalam mendidik) maka potensi awal homo seksual dan penyimpangan seksualitas
lainnya sudah dimulai.
Ketika usia 7 - 10 tahun, anak lelaki lebih
didekatkan kepada ayah, karena di usia ini ego sentrisnya mereda bergeser ke
sosio sentris, mereka sudah punya tanggungjawab moral, kemudian di saat yang
sama ada perintah Sholat.
Maka bagi para ayah, tuntun anak untuk
memahami peran sosialnya, diantaranya adalah sholat berjamaah, berkomunikasi
secara terbuka, bermain dan bercengkrama akrab dengan ayah sebagai aspek
pembelajaran untuk bersikap dan bersosial kelak, serta menghayati peran
kelelakian dan peran keayahan di pentas sosial lainnya.
Wahai para Ayah, jadikanlah lisan anda sakti
dalam narasi kepemimpinan dan cinta, jadikanlah tangan anda sakti dalam urusan
kelelakian dan keayahan. Ayah harus jadi lelaki pertama yang dikenang anak anak
lelakinya dalam peran seksualitas kelelakiannya. Ayah pula yang menjelaskan
pada anak lelakinya tatacara mandi wajib dan konsekuensi memiliki sperma bagi
seorang lelaki.
Begitupula anak perempuan didekatkan ke
ibunya agar peran keperempuanan dan peran keibuannya bangkit. Maka wahai para
ibu jadikanlah tangan anda sakti dalam merawat dan melayani, lalu jadikanlah
kaki anda sakti dalam urusan keperempuanan dan keibuan.
Ibu harus jadi wanita pertama hebat yang
dikenang anak anak perempuannya dalam peran seksualitas keperempuanannya. Ibu
pula orang pertama yang harus menjelaskan makna konsekuensi adanya rahim dan
telur yang siap dibuahi bagi anak perempuan.
Jika sosok ayah ibu tidak hadir pada tahap
ini, maka
inilah pertanda potensi homoseksual dan
kerentanan penyimpangan seksual semakin menguat.
Lalu bagaimana dengan tahap selanjutnya, usia
10 - 14? Nah inilah tahap kritikal, usia dimana puncak fitrah seksualitas
dimulai serius menuju peran untuk kedewasaan dan pernikahan.
Di tahap ini secara biologis, peran
reproduksi dimunculkan oleh Allah SWT secara alamiah, anak lelaki mengalami
mimpi basah dan anak perempuan mengalami menstruasi pada tahap ini. Secara
syahwati, mereka sudah tertarik dengan lawan jenis.
Maka agama yang lurus menganjurkan pemisahan
kamar lelaki dan perempuan, serta memberikan warning keras apabila masih tidak
mengenal Tuhan secara mendalam pada usia 10 tahun seperti meninggalkan sholat.
Ini semua karena inilah masa terberat dalam kehidupan anak, yaitu masa transisi
anak menuju kedewasaan termasuk menuju peran lelaki dewasa dan keayahan bagi
anak lelaki, dan peran perempuan dewasa dan keibuan bagi anak perempuan.
Maka dalam pendidikan fitrah seksualitas, di
tahap usia 10-14 tahun, anak lelaki didekatkan ke ibu, dan anak perempuan
didekatkan ke ayah. Apa maknanya?
Anak lelaki didekatkan ke ibu agar seorang
lelaki yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis,
maka di saat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok wanita
terdekatnya, yaitu ibunya, bagaimana lawan jenisnya harus diperhatikan,
dipahami dan diperlakukan dari kacamata perempuan bukan kacamata lelaki. Bagi
anak lelaki, ibunya harus menjadi sosok wanita ideal pertama baginya sekaligus
tempat curhat baginya.
Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya di
tahap ini, tidak akan pernah memahami bagaimana memahami perasaan, fikiran dan
pensikapan perempuan dan kelak juga istrinya. Tanpa ini, anak lelaki akan
menjadi lelaki yg tdk dewasa, atau suami yang kasar, egois dsbnya.
Pada tahap ini, anak perempuan didekatkan ke
ayah agar seorang perempuan yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan
pada lawan jenis, maka disaat yang sama harus memahami secara empati langsung
dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya, bagaimana lelaki harus
diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata lelaki bukan kacamata
perempuan. Bagi anak perempuan, ayahnya harus menjadi sosok lelaki ideal
pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya.
Anak perempuan yang tidak dekat ayahnya di tahap
ini, kelak berpeluang besar menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki
yang dianggap dapat menggantikan sosok ayahnya yang hilang dimasa sebelumnya.
Semoga kita dapat merenungi mendalam dan
menerapkannya dalam pendidikan fitrah seksualitas anak anak kita, agar anak
anak lelaki kita tumbuh menjadi lelaki dan ayah sejati, dan agar anak anak
perempuan kita tumbuh menjadi perempuan dan ibu sejati.
Agar para propagandis homo seksualitas tidak
lebih pandai menyimpangkan fitrah seksualitas anak anak kita daripada
kepandaian kita menumbuhkan fitrah seksualitas anak anak kita. Agar ahli
kebathilan gigit jari berputus asa, karena kita lebih ahli dan berdaya mendidik
fitrah anak anak kita.
No comments:
Post a Comment