oleh : Yoga Widhia Pradhana (Mahasiswa ITS)
Dan untuk kita saudara-saudara
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka
semboyan kita tetap : merdeka atau mati!
(Bung Tomo)
Sepenggal kata-kata pembakar semangat diatas merupakan cuplikan
pidato Bung Tomo tatkala memimpin arek-arek Suroboyo dalam pertempuran melawan
pasukan Belanda di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran tersebut
merupakan pertempuran terbesar dan terberat untuk pertama kalinya setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berhasil dideklarasikan. Perjuangan
heroik yang dilandasi semangat berkorban ini telah menjadi simbolisasi nasional
atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme dan pengusiran penjajah dalam
upaya mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, bukan
menjadi sebuah hal yang berlebihan ketika tanggal 10 November kemudian
diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Semangat mempertahankan kemerdekaan yang dibingkai dalam
peringatan hari pahlawan sejatinya dapat dimaknai sebagai modal sejarah yang
kuat untuk terus berbenah memperbaiki Negeri ini. Nilai-nilai kepahlawanan
harus tetap hidup untuk mendorong tercapainya cita-cita mulia Indonesia,
diantaranya adalah kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian yang hakiki. Dalam
berbagai diskursus sering disampaikan bahwa kemerdekaan, kedaulatan, dan
kemandirian suatu Bangsa dapat sepenuhnya tercapai jika Bangsa itu mampu
mempertahankan pandangan hidupnya (the
way of life). Jika sebuah Negara diibaratkan sebagai kapal, maka
pandangan hidup inilah yang kemudian akan sangat menentukan bagaimana cara dan
kemana arah Bangsa tersebut akan berlayar menuju tujuan. Sukses atau tidaknya
kapal ini mencapai tujuan juga tergantung pada kapasitas leadership dan mental nahkoda yang dalam
hal ini adalah para pemimpin Negara.
Sayangnya, realitas yang dihadapkan kepada anak Bangsa hingga
hari ini justru menunjukkan kebalikannya, penuh keprihatinan. Kemerdekaan,
kedaulatan, dan kemandirian secara integral pada jati diri Indonesia nyatanya
masih bersifat semu, hanya diatas kertas, belum sepenuhnya diraih. Penyebeb
diantaranya adalah praktek-praktek kehidupan bernegara yang semakin menjauhi
pandangan hidup Bangsa ini. Demikian juga krisis kepemimpinan yang terjadi
turut berkontribusi memperkeruh tatanan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Boleh
jadi, Indonesia saat ini diibaratkan sebagai Negara yang hidup segan, mati pun
tak mau.
Terciptanya Pandangan Hidup (The
Way of Life) Bangsa dan Sejarah Panjang Konstitusi
Indonesia
Sejarah panjang Indonesia telah membentuk pandangan hidup Bangsa
ini melalui sebuah ideologi yang dicetuskan oleh para founding
father khususnya era
generasi Soekarno. Dengan berbagai kemajemukan Indonesia termasuk ideologi-ideologi
politik yang berkembang saat itu, Soekarno telah menyatukannya melalui ideologi
Pancasila. Sebuah pandangan hidup independen yang tidak terpengaruh oleh poros
manapun untuk menjadi landasan atas perlawanan terhadap imprealisme dan
neo-liberalisme. Bisa juga tidak diposisikan dalam hal melawan, tetapi juga
dapat ditempatkan dalam bentuk pertahanan terhadap gempuran globalisasi untuk
menjawab tantangan jaman. Sesuai dengan namanya, ideologi ini terdiri atas lima
sila yang selanjutnya diterjemahkan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 sebagai konstitusi Negara yang juga sekaligus sebagai panduan
legal-formal operasi organ-organ kekuasaan Negara.
Sepanjang sejarah Indonesia, tiga kali pergantian konstitusi
mewarnai perjalanan hidup Indonesia di era sebelum reformasi. UUD 1945 yang
telah berlaku saat itu, harus digantikan oleh UUD Republik Indonesia Serikat
(RIS) akibat dari sebuah bentuk kompromi terhadap Belanda agar mau mengakui
kedaulatan Indonesia. Indonesia dipaksa untuk menjadi Negara federal dengan
maksud memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini tidak
berlangsung lama karena berbagai tokoh-tokoh politik melakukan perlawanan.
Alhasil, negara-negara bagian menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia
dan mengakhiri sistem RIS sekaligus konstitusinya.
Untuk segera mengisi kekosongan konstitusi, maka diberlakukan
UUD Sementara (UUDS) 1950. Dikatakan sementara karena terdapat amanat dalam
pasal 134 untuk segera menyusun UUD RI yang dapat menggantikan UUDS oleh
Konstituante bersama Pemerintah. Setelah terbentuk anggota Konstituante,
nyatanya perumusan dasar Negara mengalami kebuntuan dan berbuntut pada
perdebatan panjang. Melihat hal itu, Soekarno membuat Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang menyatakan pembubaran Konstituante dan mengembalikan konstitusi
kepada UUD 1945. Aroma manipulasi konstitusi untuk kepentingan kekuasaan
tercium kuat. Dalam UUD 1945 ini tidak ada aturan mengenai masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berlangsung hingga masa kepemimpinan
Soeharto. Alhasil, transisi kepemimpinan Soekarno ke Soeharto lebih dipengaruhi
faktor politis yang bermula dari Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
1965. Soeharto yang kemudian bertekad untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila
semakin memperkuat upaya manipulasi UUD 1945 melalui MPR. Kala itu, MPR
mengeluarkan ketetapan MPR No. I/MPR/1978 yang isininya berupa kebulatan tekad
anggota majelis yang akan mempertahankan UUD 1945. Aturan inilah yang kemudian
melanggengkan Soeharto sebagai Presiden seumur hidup dan menggeser Negeri ini
ke arah otoritarian-sentralistik.
Tercabiknya Pancasila Akibat Konstitusi ‘Gado-Gado’
Kejenuhan rakyat atas konsep otoritarian-sentralistik di bawah
kepemimpinan Soeharto, menjamurnya praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN), serta krisis moneter pada tahun 1998 telah membakar semangat
pembaharuan di Indonesia yang ditandai dengan dilakukannya reformasi.
Penggulingan Soeharto dari kursi kekuasaan menambah daftar sejarah baru di
Indonesia dalam transformasi demokratisasi. Salah satu agenda yang menjadi
amanat reformasi adalah amandemen UUD 1945. Pada prinsipnya semangat amandemen
yang dibentuk bertujuan untuk memperbaiki kelemahan UUD 1945 yang berpotensi
dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh para penguasa. Dalam hal ini, Indonesia
berpeluang untuk menanamkan konsep demokrasi dan kedaulatan yang diinginkan
oleh rakyat. Namun siapa sangka, justru amandemen inilah yang menyebabkan
runtuhnya pandangan hidup Bangsa, menjauhkan kehidupan bernegara dan berbangsa
dari Pancasila itu sendiri.
UUD 1945 mengalami empat kali amandemen mulai dari tahun 1999
hingga tahun 2002. Perubahan yang dilakukan secara menyeluruh dan hanya
menyisakan 6 pasal (Pasal 4, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 25) yang
sesuai dengan bentuk aslinya. Entah akibat ketidakmampuan menerjemahkan
falsafah Pancasila atau memang terdapat unsur kesengajaan untuk menyisipkan
ideologi lain ke dalam UUD 1945 hasil amandemen ini, menyebabkan munculnya
berbagai kritik bahwa UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi sesuai dengan jiwa
UUD 1945 yang asli.
Berbagai permasalahan akibat amandemen UUD 1945 ini bisa
dirasakan mulai dari ketidaktegasan konsep ketatanegaraan (menggunakan konsep
Negara federal atau Negara kesatuan) yang ditunjukkan melalui adanya
desentralisasi dan DPD hingga konsep ekonomi yang disinyalir tersisipi oleh
ekonomi-kapitalis. Dalam Pasal 33 terdapat penambahan satu ayat baru (ayat 4)
terkait teknis pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi yang memiliki
paham persaingan pasar bebas. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep ekonomi
kerakyatan yang mengusung semangat gotong royong. Lebih lanjut dipertegas
dengan dihapuskannya seluruh penjelasan UUD 1945 pada Sidang Tahunan (ST)-MPR
2002. Alasan yang digunakan tidak masuk akal yakni tidak adanya konstitusi di
Negara lain yang menggunakan penjelasan. Akibat penghapusan penjelasan ini,
koperasi dan usaha kecil yang berdasarkan asas kekeluargaan tidak merupakan
keharusan untuk dikembangkan di Indonesia. Konsep inilah yang menjadikan sistem
ekonomi di Indonesia semakin menjauh dengan sistem ekonomi Pancasila.
Penyisipan paham pasar bebas inilah pula yang menyebabkan terjadinya
eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia oleh para kapital asing dan
semakin diperkuat adanya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah
diperbarui untuk ‘dirapikan’.
Jika sedari awal konstitusi dasarnya saja sudah tambal-sulam,
maka bisa dipastikan produk hukum dibawahnya (seperti Undang-Undang, Peraturan
Menteri, Peraturan Daerah, dsb) menghasilkan aturan-aturan yang menyimpang dari
falsafah Pancasila. Perundang-undangan yang menjadi kesatuan konstitusi yang
sudah tersisipi berbagai ideologi atau disebut dengan konstitusi ‘gado-gado’
telah menyebabkan tercabiknya Pancasila dan berimplikasi semakin jauhnya
kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian secara hakiki atau bahkan semakin
menguatkan cengkraman asing dalam bentuk yang lain, bukan penjajahan secara
fisik.
Reformasi Moral Kepemimpinan Indonesia : Membangkitkan Semangat
Para Pahlawan Dalam Diri Untuk Menyelamatkan Indonesia
Sepelik apapun permasalahan Bangsa, sejatinya kebangkitan atau
justru kemerosotan sebuah peradaban Bangsa itu sendiri akan ditentukan oleh
para pemimpinnya. Para pemimpin yang dimaksud disini bukan hanya seorang
Presiden, melainkan seluruh elemen perangkat Negara yang bertanggung jawab untuk
mengarahkan, menggerakkan, dan mengendalikan Negara menuju tujuannya. Lalu
pertanyaan selanjutnya, pemimpin seperti apa yang mampu membawa kebangkitan
Indonesia?
Dalam falsafah Pancasila sendiri, kepemimpinan nasional
terkandung dalam nilai-nilai sila ke-4. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Indonesia harus dipimpin oleh
para pemimpin yang memiliki hikmat atau hikmah. Arti dari hikmah itu sendiri
merupakan kebijaksanaan atau kearifan yang diberikan oleh Tuhan. Maka pemimpin
yang memiliki hikmah adalah mereka yang dalam setiap perkataan, perbuatan, dan
tindakannya membawa kebaikan. Orientasinya adalah untuk perbaikan Negara dan
kepentingan publik, bukan atas dasar kepentingan individu dan golongan yang memperdaya
rakyat. Keteladanannya membangun pondasi kepercayaan dan menginspirasi rakyat
untuk juga turut berubah ke arah yang lebih baik. Secara simultan, para
pemimpin dengan rakyatnya akan menciptakan sinergisitas dalam merubah nasib
Bangsanya
Para pendahulu atau mereka yang disebut sebagai pahlawan
Indonesia, secara gamblang telah mencontohkan bagaimana seharusnya bersikap
sebagai pemimpin. Pemberani-bukan bermental inlander, tulus, rela
berkorban, tak kenal pamrih untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan
dekat dengan Tuhannya merupakan semangat para pahlawan yang harus
diinternalisasi oleh seluruh segenap Bangsa guna melakukan reformasi moral. Hal
ini penting dan fundamental guna mengatasi krisis kepemimpinan nasional yang
melanda Negeri ini dengan tujuan menyelamatkan Indonesia.
Kesimpulan
Agar Indonesia tidak semakin jauh tersesat dalam pusaran
globalisasi dan dalam rangka mempertahankan 'kemerdekaan', sekaranglah saat
yang tepat untuk 'memutar arah' kembali kepada ideologi Pancasila sebagai
pandangan hidup Bangsa. UUD 1945 harus ditempatkan sebagai konstitusi dasar
yang tak boleh lepas dari falsafah Pancasila. Akan tetapi perlu menjadi catatan
yang harus digaris bawahi bersama bahwa perubahan besar tersebut hanya dapat
dilakukan oleh para pemimpin yang memiliki hikmah. Adalah mereka para pemimpin
yang mampu membangkitkan semangat para pahlawan Indonesia dalam diri yang
membawa nilai perjuangan dan cahaya perubahan. Renungkanlah!
Selamat Hari Pahlawan untuk segenap Bangsa Indonesia
Dirgahayu Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ke-53
Tetap nyalakan nuranimu!
Surabaya, 9 November 2013 pukul 02.59 WIB
Atas nama cinta untuk Indonesia,
Fajar, saya ini Yoga Widhia Pradhana mahasiswa ITS bukan Yoga Yulianto mahasiswa UPI :)
ReplyDeleteok,.maaf salah,.
ReplyDeletenanti saya ganti,.
oia, tulisan yg jilbab hitam juga saya masukan yaa
terima kasih