Suatu momen
dikala matahari mulai malu menyinari bumi. Seorang organisatoris bertanya kepada
seniornya terkait bolehkan dia istirahat sejenak dalam jalan juang ini. Dalam keheningan
senja itu dia bertanya, “Ka, aku ingin bertanya kepada kakak terkait jalan
juang ini, bolehkah aku istirahat sejenak kira-kira satu tahun lamanya dalam
jalan juang ini?”. Sang senior pun menjawab “ tidak boleh”. Lalu dia pun
bertanya kembali, “jika aku beristirahat satu bulan dari jalan juang ini boleh
tidak ka?”. Dengan sikap yang sama kakak tingkatnya menjawab dengan irama yang
sama “tidak boleh”. Masih terheran-heran, dia pun mengajukan pertanyaan lagi, “jika
satu pekan saja aku istirahat dari jalan juang ini, boleh tidak ka?”. Terucap dari mulut seniornya jawaban yang
sama. Lalu dengan sedikit meninggikan nada, dia bertanya kembali, “jika aku
istiharat satu hari saja, boleh tidak ka?”. Masih dengan tanggapan yang tenang
namun tergambar tegas seniornya menjawab “tetap tidak boleh saudaraku”. Dengan sedikit
marah dia bertanya lagi kepada seniornya, “ok ka, jika hanya satu menit saja aku
tidak berada jalan juang ini, apakah boleh?”. Seniornya tersenyum teduh dan
menjawab “tetap kamu tidak boleh istirahat saudaraku”. Dengan sedikit emosi dia
pun berkata “lalu kapan kita boleh istirahat dalam jalan juang ini ka? Tahukah ka,
jika badan ini sudah sangat letih sebagai penopang tonggak pahala ini”. Setelah
dia bertanya kepada seniornya, suasana menjadi hening sejenak. Terlihat kerutan
dalam dahi sang senior, sering kali matanya terfokuskan pada langit yang mulai
memerah kala itu. Lalu senoirnya menghadapkan wajahnya ke saudaranya itu,
dengan diawali bismillah, dia menjawab. “wahai adikku, sadarkah engkau bahwa
diluar sana masih banyak teman-teman kita yang memperjuangkan kebaikan. Yang berada
dipikiran mereka hanyalah terjalinnya hubungan yang harmonis antara hamba dan
Tuhannya. Tidak pernah sesekali mereka berpikir untuk rehat sejenak dari jalan
juang ini. Apalagi berpikir untuk mendapatkan keuntungan dunia yang fana.
Adikku dengarlah, ‘Jika engkau CINTA, maka jalan juang adalah Tadhiyah (pengorbanan),
Bukti kesetiaan dan kesiapan memberi, pantang meminta. Bersedialah banyak
kehilangan dan sedikit menerima. Karena
Allah lebih mulia, sedang di sisimu adalah fana belaka. Sedangkan setiap
tetes keringat berpahala lipat ganda’.
Waktu istirahat
kita adalah ketia kaki ini telah menginjak jannah-Nya yang sangat lapang dengan
kenikmatan yang sesungguhnya. Di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir
dan beraneka rasa, dimana kita bisa meminumnya tanpa batas. Apakah itu tidak
sangat menggiurkan bagimu adikku. Aku paham jika kau letih, bosan, dan kecewa
dengan jalan juang ini. Namun, inilah perdagangan yang Allah tawarkan kepada
kita. Berikan yang terbaik untuk agama ini, dan opantaskan bahwa dirimu pantas
menerima kenikmatan jannah-Nya”.
Terteteslah
air mata sang adik, dan dia hanya berkat “afwan ka jika pribadi ini lemah”. Pertemuan
itu pun diakhiri dengan berkumandangnya adzan magrib yang merdu nan menggugah
hati yang sedang gelisah ini. Semoga bisa menjadi bahan instropeksi diri dan
penyemangat diri ketika jiwa yang lemah ini berada pada ujung tanduk kemalasan.
No comments:
Post a Comment