Saturday, January 18, 2014

Pembangunan : Lingkungan dikemanakan ? Lalu banjir ?

oleh : Resti Habibah (Mahasiswa FIS UNJ)

“Sebagian besar manusia menghabiskan waktu dengan memikirkan hidup yang lebih baik. Mereka tidak menghargai waktu yang ada, padahal bisa jadi waktu yang ada adalah akhir perjalanan hidupnya.” (Dr. Ibrahim Elfiky)

Terlintas benang merah antara kutipan tersebut dengan fokus pembangunan tata ruang kota saat ini. Bagaimana pendapat Anda tentang Jakarta yang sekarang ini? Semua jawaban saya kembalikan kepada diri Anda masing-masing, karena saya tidak ingin
mendikte Anda yang memiliki hak mengeluarkan aspirasi yang dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Kalau Anda bertanya bagaimana dengan pendapat saya ? saya akan menjawab : tidak merata dan kurang tertata rapi. Faktanya pembangunan tata ruang kota hari kemarin, hari ini, dan mungkin seterusnya (tidak bermaksud mendoakan) masih berhadapan dengan kemacetan, kebanjiran, dan membahayakan keseimbangan alam serta lingkungan. Kebanyakan dari tujuan pembangunan itu sendiri pada akhirnya tidak mampu menjaga kelestarian alam dan lingkungan sehingga terlihat ketimpangan antara kehidupan yang mewah dan kehidupan yang penuh sampah. Apa buktinya ? masih banyak jalan-jalan atau bangunan kota yang tidak dilengkapi tempat sampah disetiap sudutnya sehingga sampah-sampah “mini” selalu bertebaran mewarnai angin Jakarta. Saat sampah “mini” tersebut menumpuk di sungai, berujung pada musibah banjiir, as always.

Saat banjir melanda, semua orang bertanya-tanya, “kenapa bisa terjadi ? apa salah kami ? dosa apa yang kami perbuat hingga banjir menimpa kami ? Ya Tuhan, apa yang harus kami perbuat ?” Namun, di sisi lain ada yang bergumam “ah banjir lagi, sial padahal rumah ini bagus dan kokoh, kenapa bisa ditimpa banjir ?! Ya Tuhan, sudah jatuh tertimpa tangga, sudah miskin makin menderita..”. Ya, semuanya bertanya dan bergumam, akan tetapi ada yang mencoba mengambil hikmah dibaliknya “mungkin aku terlalu memaksakan keadaan dalam membangun kehidupan kecil di tempat yang sempit dan penuh ini, mungkin aku sering lupa untuk membuang sampah pada tempatnya, mungkin aku...” dan seterusnya, mencoba mencari maksud baik dibalik bencana yang menimpa. Ya, semuanya memberi respon dengan pluralitas pandangan yang memberikan perbedaan reaksi. Intinya, ada yang menerima dengan ikhlas dan menolak dengan komplain terhadap musibah banjir tanpa bercermin pada pribadi yang mungkin sejatinya menjadi salah satu penyebab banjir.

Lalu, apa sajakah penyebab musibah banjir? banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Salah satunya faktor manusia. Saya mengambil potret kota yang terkena musibah banjir. Contohnya adalah Ibukota Jakarta yang berfungsi sebagai pusat kegiatan poleksosbudhankamnas paling aktif bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dari sudut pandang Sosiologi Perkotaan, dikarenakan fungsi Jakarta itu sendiri, terjadilah perebutan ruang dan penumpukan “kehidupan” oleh berbagai macam kelompok manusia seiring berkembangnya zaman dan kebutuhan. Hasil dari pertarungan tersebut akhirnya memenangkan kelompok/kelas pemilik modal dimana seluruh kepentingannya diutamakan dalam proses pembangunan dan pengembangan perkotaan. Kenyataan tersebut tergambar di lapangan, mengakibatkan tata ruang kota Jakarta yang berantakan dan terancam tenggelam 5 tahun sekali di sebagian besar wilayahnya pada saat musim hujan. Selain pemerkosaan lahan oleh berbagai kelompok manusia tanpa mempertimbangkan kemampuan lahan yang ada, penyebab banjir lainnya adalah pembuangan sampah secara sembarangan dan minimnya biopori.

Tentunya mata kita juga tidak buta saat melihat perbedaan yang amat jauh antara kawasan sentra bisnis dan pemerintahan di Jakarta Pusat dengan kawasan kumuh di sepanjang pinggiran sungai-sungai atau kali-kali kecil Jakarta. Potret tersebut memperlihatkan kesenjangan pembangunan tata ruang kota antara kaum elit dengan kaum bawah, si Borjuis dengan Proletar kalau kata Karl Marx. Memang sepenuhnya bukan salah kaum elitis, banyak faktor yang melandasinya. Sejak diberlakukannya liberalisasi ekonomi saat zaman Orde Baru, Indonesia masuk ke dalam lingkaran sistem ekonomi kapitalis dunia dan tidak bisa keluar darinya. Saat itu mulailah pembangunan secara besar-besaran yang mengarah pada proses perluasan Urbanisasi (pengkotaan) sampai ke daerah-daerah pinggiran Jakarta (Jabodetabek) dan menarik kaum migran untuk hijrah ke Jakarta. Pada akhirnya, karena daya tampung yang tidak cukup, banyak kaum migran yang terpaksa mendirikan bangunan-bangunan liar beserta masalah lingkungan yang dibawanya di berbagai sudut ibukota. Sayangnya baik pemerintah maupun masyarakat kurang “down to earth” terhadap fenomena tersebut, penanganannya terkesan lamban, kurang, bahkan tidak sama sekali di beberapa titik. Pemerintah dan sektor swasta terus menerus fokus terhadap “pembangunan estetika” di beberapa wilayah sentral saja tanpa memperdulikan mereka yang hidup dalam lingkungan “liar”.

Saya tidak bermaksud memandang pembangunan dari segi tata ruang kota sebagai hal yang berkonotasi negatif, tidak. Saya hanya ingin kita bersama-sama melihat masalah apa yang sudah, sedang, dan mungkin akan datang (sekali lagi tidak bermaksud mendoakan) jika pembangunan ini terus menerus fokus terhadap sisi estetika saja TANPA mempertimbangkan keadaan lahan dan keutuhan alam serta lingkungan. Memang tuntutan zaman memaksa Indonesia untuk terus melaksanakan pembangunan tata ruang kota agar tidak tertinggal oleh kemajuan peradaban dunia. Namun apakah pembangunan tersebut harus mengacuhkan keseimbangan alam ? Tentu tidak ! Apa gunanya bila gedung hampir menyentuh langit dan rumah dilapisi baja elegan kalau keadaan di luar bangunan beratap dan berdinding sangat menyeramkan dan membahayakan manusia ? Ingatlah bahwasannya seluruh makhluk hidup di dunia ini tidak selamanya hidup di dalam ruangan, kita semua butuh dunia luar yang senantiasa diwarnai udara, air, dan sinar matahari olehNya, yang sejatinya kita tidak bisa hidup tanpa hal itu semua.

Apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi dan membenahi semua masalah yang ada dalam pembangunan di Jakarta ini? Tampaknya kita butuh menilik lebih dalam “Jika kita menyadari keberadaan kita dan tahu apa yang kita inginkan maka kita pasti tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana mendapatkannya” (Abraham Lincoln). Keberadaan generasi muda Indonesia, terutama mahasiswa yang memiliki fungsi sebagai kontrol sosial, iron stock, dan agen perubahan juga memegang peranan penting akan keberlangsungan pembangunan tata ruang kota dan kelestarian alam serta lingkungan. Jika bukan kita yang mengawal dan memberdayakan itu semua, siapa lagi ? “Hidup yang Anda jalani saat ini adalah pancaran pikiran, keputusan, dan pilihan Anda, jika Anda rela menerima tantangan, berarti Anda telah merintis perubahan, kemajuan, dan perkembangan” (Dr.Ibrahim Elfiky). Sungguh luar biasa bila kita berani melakukan pemulihan yang berakar pada komitmen diri untuk senantiasa mencegah segala perbuatan yang memungkinkan terjadinya kerusakan lingkungan sebagai salah satu dampak dari pembangunan.

“Anda dapat menggapai tujuan apa pun dan dapat memecahkan apa pun jika Anda membaginya menjadi bagian-bagian kecil. Selanjutnya sikapi setiap bagian dengan baik hingga impian Anda terwujud” (Napoleon Hill). Simpel saja, beberapa pemulihan yang dapat dilakukan sehari-hari tidak lain adalah buang sampah pada tempatnya. Pemulihan bertahap antara lain penanaman pohon, perbanyakan biopori, pemanfaatan lahan kecil seefektif mungkin, pemberdayaan sampah dan tentunya pembangunan tata ruang kota yang mempertimbangkan potensi lahan yang tersedia tanpa harus merugikan banyak pihak. Bayangkan bila tiap detik kita membuang sampah pada tempatnya dan menyerukannya terhadap setiap orang yang kita temui ? Ngga perlu nunggu orang Jepang untuk mungutin sampah di monas (ini fakta!), kita bisa kok.

“Jangan berharap dunia yang berubah, tetapi diri kita-lah yang harus berubah. Ingat anak-anakku, Allah berfirman dalam surat Ar Ra’d ayat 11, bahwa Dia tidak akan mengubah nasib sebuah kaum sampai kaum itu sendirilah yang melakukan perubahan. Kalau kalian mau sesuatu dan ingin menjadi sesuatu, jangan hanya bermimpi dan berdoa, tetapi berbuatlah, berubahlah, lakukan saat ini, sekarang juga !” (Kiai Rais, dalam Negeri 5 Menara)

Ayo pemuda Indonesia, kita pasti bisa!

Warnai pembangunan ini dengan warna hijau yang memesona dan memberi aroma kesejukan untuk semua makhlukNya.

“Janganlah, melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihat isi dari yang disampaikan. Jika itu kebaikan, maka segeralah menjemput seruan untuk berjuang” (Umar Bin Khattab).

No comments:

Post a Comment