Salah seorang menteri bidang moneter dalam kabinet Pembangunan pernah curhat mengenai proyek industri strategis yang dipercayakan pemerintah ke BJH. Kira-kira isi curhatnya sebagai berikut : “Bagaimana kawan ini, dia minta uang kepada kita, kemudian dia jual lagi priduknya ke kita.” Maksudnya produk industri strategis yang modalnya diambil dari negara, kemudian hasil produksinya dijual lagi ke negara. Ini terjadi misalnya untuk memenuhi kebutuhan Hankam dalam bidang persenajataan ( Pindad ), Fast Patrol Boat ( PAL ), CN-235 ( Merpati ), dan lain-lain.
Padahal dalam strategis
transformasi industri yang digagas BJH, salah satu syarat mutlak untuk
dijadikan wahana, selain produk bersifat kompetitif, juga memang karena adanya
pasar domestik. “Jika selama ini kita hanya membeli dari luar negeri yang
menguntungkan hanya segelintir orang tertentu dan bangsa lain yang
memproduksinya, kenapa bukan kita yang membuatnya, mutu dan kualitasnya sama,”
kata BJH. “ Jika kita hanya pintar membeli dan menjadi konsumen neto teknologi,
kapan bangsa kita bisa pintar. Jika kita hanya tau gampangnya dengan membeli,
kita telah membiayai bangsa lain menjadi kaya dan anak-anak mereka tambah
pintar. Karena keuntungan yang mereka peroleh, mereka investasikan lagi dalam
R&D. Ilmuawan mereka yang melakukan riset akan tambah pintar, sementara
kita hanya gigt jari.”
“Sebagai negara maritim dengan
ribuan pulau, berapa banyak kapal laut dan kapal terbang yang diperlukan untuk
menghubungkan Indonesia sebagai negara kesatuan? Oleh karena itu, jelas potensi
dasar domestik salah satunya yang akan membiayai industri teknologi tinggi kita
sebagai wahana keunggulan yang dapat berkompetisi dalam tingkat regional dan
internasional. Jika ini terjadi, secara tidak langsung kita membiayai anak-anak
kita sendiri untuk tambah pintar.” Demikian gagasan BJH
Ketika ditanya, apakah benar
industri strategis tidak akan bertahan tanpa proteksi pemerintah? “memang,”
kata BJH. “Jika tidak, ia akan mengembalikan proyek itu kepada pemerintahan.
Karena satu-satunya cara untuk
memproteksi industri dengan program progresif adalah dengan pemeberian
monopoli. Tentu ini melawan hukum,” kata BJH. “Tetapi negara mana yang tidak
melakukannya darai mulai industrialisasi sampai sekarang. Tidak ada satu pun
masyarakay di dunia yang menamakan dirinya demokrasi atau nondemokrasi, baik
yang berorientasi kepada pasar atau tidak berorientasi kepada pasar yang tidak
mensubsidi perusahaan yang baru lahir yang masih dalam pertumbuhan.” Ia beri
contoh Airbus yang disubsidi oleh pemerintah secara langsung (pemberian modal)
dan tidak langsung (pemberian intensif), padahal Airbus milik swasta. Boeing
747 pada akhir dekade 1950-an lahir melalui kebijakan pemeberian subsidi dan
intensif oleh pemerintah. Produk teknologi lain di Eropa dan Jepang demikian
juga pada awalnya. Sementara di Indonesia, semua industri strategis adalah
milik pemerintah, keuntungannya milik pemerintah, dan tidak ada modal swasta
apalagi pribadi.
Seorang manusia yang berfikir
tentang pertumbuhan pembangunan negara yang berkelanjutan harus
mempertimbangkan sumber daya manusia yang dapat diperbaharui, bukan sebagai
alat, melainkan sebagai titik sentral. Itulah pikiran BJH.
Jika sejak awal semua produk industri strategis dikatakan tidak mempunyai pasar dalam negeri yang pasti, sejak awal BJH tidak akan tertarik diserahi tugas mengelolah industri strategis.
Tulisan in bersumber dari buku
berjudul “Habibie, Kecil tapi Otak Semua”
No comments:
Post a Comment