=-=-=Berikut narasi kajian oleh Ustadz Adi Hidayat di Mesjid Al Ihsan, Bekasi=-=-=
“Penjelasan tentang meggerak-gerakan
telunjuk ketika posisi tahiyat dalam shalat”
Menjadi sebuah perbincangan mengenai hal
ini, ada beberapa orang yang berpendapat ketika sedang tahiyat, maka telunjuk
harus digerak-gerakan. Tapi ada juga yang berpendapat tidak harus digerakan.
Hal ini termasuk dalam hal yang furu
(cabang), bukan pokok dalam agama sikap awalan yang harus kita pahami adalah, bagaimana
menyikapi perbedaan sesuatu yang khilafiyah. Maksud dari khilafiyah adalah
sesuatu hal yang masih terjadi perbedaaan antara ulama fiqh, dan hal ini tidak
mengapa dengan dasar masih sejalan Al-Qur’an dan Hadits.
Kembali kepada pertanyaan awal, mengenai
hal ini ada beberapa hadits yang akan saya cantumkan.
Pertama Muslim No. 913 riwayat Muslim
Kedua At-Tirmidzi No. 296 riwayat
Abdullah bin Umar (Ibnu Umar)
Ketiga Wail Bin Hujr yang masyaAllah
diriwayatkan dari 12 jalur, ada dalam Kitab Musthafa Al’Adawi dengan Syarah ‘Ilalul
Hadits halaman 178-180. Pada hadits ini yang menjelaskan tentang
menggerak-gerakan jari telunjuk.
Penjelasan hadits Muslim No 913 dan
At-Tirmidzi No 296 :
Dari Ibnu Umar ra. Beliau menyanpaikan “adalah
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam meletakkan telapak tangan yang kanan di paha
yang kanan. Kemudian melipat tangannya yang jempol bertemu dengan yang jari
tengah. Lalu mengangkat yang jari telunjuk, ketika diangkat beliau berdo’a “ (sanad
hadits shahih)
Ini adalah hadits pertama yang
menerangkan mengangkat jari telunjuk tanpa menggerak-gerakkannya. Dari hadits
ini beberapa ulama berbeda pendapat dalam praktiknya.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa jari
telunjuk akan diangkat jika sudah pada kalimat illallaah dengan maksud mentauhidkan Allah yang engkau sembah
Beliau menguatkan pendapat dengan hadits
Muslim no 890 diriwayatkan dari Jabi ra. Menyebutkan bahwa “Rasulullah bersabda
seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan
melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, “Allahumma Isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya
tiga kali.
Imam Malik berpendapat bahwa dalam hadits
ini disebutkan meletakkan tangan di paha dan menempelkan jempol ke jari
tengahnya, kemudian beliau berdo’a. Dari kalimat hadits ini beliau berpendapat
bahwa mengangkat jari telunjuk ini dimulai ketika awal bacaan tasyahud.
Kemudian menurunkan jari telunjuk ketika setelah salam.
Imam Abu Hanifah (nama aslinya Nu’man
bin Basyir) berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk dimulai ketika kalimat
Syahadat dalam Tasyahud dan setelah selesai kalimat Syahadat kemdian kembali
menurunkan telunjuknya. Beliau menerangakn hal ini karena mengangkat telunjuk
untuk mengikrarkan ke-Esa-an Allah dan kultur budaya orang-orang Arab pada saat
ini jika dikatakan kalimat Allah maka akan mengangkat telunjuknya.
Ini merupakan kelebihan dari Imam Abu
Hanifah, beliau memiliki kecerdasan penalaran luar biasa. Jika beliau membaca
sesuatu, bilau tidak hanya bersandar pada dalil tapi menafsikan dalil pada
kaidah-kaidah bahasa, kultur dan logika.
Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa
mengangkat jari telunjuk adalah saat mengucapkan Syahadat dan baru menurunkan
ketika akan salam. Hal ini diambil berdasarkan pandangan bahwa dalam kalimat
haditsnya, Nabi berdo’a dalam tsyahud dengan kondisi telunjuk masih terangkat.
Sesuai dengan adab berdo’a yaitu syahadat lalu bershalawat kemudian berdo’a
Dari penjabaran pendapat di atas, belum
mengomentari tentang menggerakkan jari.
Baru kemudian ada hadits yang datang
dalam 12 matan (redaksi) disampaikan Syeikh Musthafa Al’Adawi. Semua 12 riwayat
ini mengacu kepada Waail Ibnu Hujr. Dari 12 riwayat itu ada yang bernama Ziyad
bin Qudamah, redaksinya sama dengan riwayat Ibnu Umar tapi ada tambahan yaitu
ketika diangkat sambil digerak-gerakkan (yuharrikuha)
Dari riwayat ini menjelaskan bahwa
menggerakkan jari telunjuk dengan saat diangkatnya adalah sah dan dibolehkan.
Jadi jika nanti ada yang berpendapat
mengangkat tanpa menggerak-gerakkan jari, pendapat itu juga sah dab dibolehkan.
Dan jika ada yang menggerakkan saat diangkat ini juga pendapat yang sah.
Namun jika ditanyakan pendapat mana yang
paling kuat dan sering dilakukan oleh Rasullullah, maka dijelaskan bahwa dari
12 riwayat yang menerima dari Waail Bin Hujr. Hanya satu periwayat saja yang
mengatakan ada tambahan (yuharrikuhaa) saat mengangkatnya. Selebihnya atau
sebelas orang periwayat lainnya tidak ada tambahan menggerak-gerakkan. Diantara
sebelas orang itu ada Salam bin Sulaim, Sufyan ats Tsauri, Sufyan ibnu Uyainah,
Juhair, Bisyar al mufadlol dll.
Para ulama mengeluarkan pendapat bahwa
jika ada satu riwayat bertentangan dengan kebanyakan riwayat lainnya, maka yang
paling kuat adalah yang banyak periwayatnya. Namun tetap yang sedikit itu
dianggap shahih dan sah dilakukan. Khususnya dalam hadits yang mengacu pada
Waail bin Hujr.
Sekali lagi, hal yang paling penting
dalam menanggapi perbedaan ialah rasa saling menghormati antar pendapat. Teringat
sebuah percakapan antara Imam Ahmad bin Hambal yang ditanyakan tentang qunut
Shubuh oleh muridnya. Beliau menjawab bahwa Qunut dalam Shalat Shubuh adalah
bid’ah, namun jika aku shalat di-imami oleh imam yang ber-qunut. Maka akan aku
amin kan. Terlihat sangat tidak konsisten oleh muridnya, tapi menjawab bahwa
aku melakukan hal ini menyatukan hati umat islam. Begitu sangat mulia akhlaq
para ulama terdahulu. Tidak menguatkan ego pribadi melainkan tetap menjaga
kesatuan diantara perbedaan yang ada.
Semoga kita dapat bijak dalam bersikap,
sehingga kita tidak saling menyalahkan sesama umat muslim.
Wallahu’alam bishowab...
No comments:
Post a Comment