Friday, January 29, 2016

Hukum dalam menggerak-gerakan telunjuk saat tasyahud dalam shalat?



=-=-=Berikut narasi kajian oleh Ustadz Adi Hidayat di Mesjid Al Ihsan, Bekasi=-=-=

“Penjelasan tentang meggerak-gerakan telunjuk ketika posisi tahiyat dalam shalat”

Menjadi sebuah perbincangan mengenai hal ini, ada beberapa orang yang berpendapat ketika sedang tahiyat, maka telunjuk harus digerak-gerakan. Tapi ada juga yang berpendapat tidak harus digerakan.
Hal ini termasuk dalam hal yang furu (cabang), bukan pokok dalam agama sikap awalan  yang harus kita pahami adalah, bagaimana menyikapi perbedaan sesuatu yang khilafiyah. Maksud dari khilafiyah adalah sesuatu hal yang masih terjadi perbedaaan antara ulama fiqh, dan hal ini tidak mengapa dengan dasar masih sejalan Al-Qur’an dan Hadits.

Kembali kepada pertanyaan awal, mengenai hal ini ada beberapa hadits yang akan saya cantumkan.

Pertama Muslim No. 913 riwayat Muslim
Kedua At-Tirmidzi No. 296 riwayat Abdullah bin Umar (Ibnu Umar)
Ketiga Wail Bin Hujr yang masyaAllah diriwayatkan dari 12 jalur, ada dalam Kitab Musthafa Al’Adawi dengan Syarah ‘Ilalul Hadits halaman 178-180. Pada hadits ini yang menjelaskan tentang menggerak-gerakan jari telunjuk.

Penjelasan hadits Muslim No 913 dan At-Tirmidzi No 296 :
Dari Ibnu Umar ra. Beliau menyanpaikan “adalah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam meletakkan telapak tangan yang kanan di paha yang kanan. Kemudian melipat tangannya yang jempol bertemu dengan yang jari tengah. Lalu mengangkat yang jari telunjuk, ketika diangkat beliau berdo’a “ (sanad hadits shahih)

Ini adalah hadits pertama yang menerangkan mengangkat jari telunjuk tanpa menggerak-gerakkannya. Dari hadits ini beberapa ulama berbeda pendapat dalam praktiknya.


Imam Syafi’i berpendapat bahwa jari telunjuk akan diangkat jika sudah pada kalimat illallaah dengan maksud mentauhidkan Allah yang engkau sembah
Beliau menguatkan pendapat dengan hadits Muslim no 890 diriwayatkan dari Jabi ra. Menyebutkan bahwa “Rasulullah bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, “Allahumma Isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali.

Imam Malik berpendapat bahwa dalam hadits ini disebutkan meletakkan tangan di paha dan menempelkan jempol ke jari tengahnya, kemudian beliau berdo’a. Dari kalimat hadits ini beliau berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk ini dimulai ketika awal bacaan tasyahud. Kemudian menurunkan jari telunjuk ketika setelah salam.

Imam Abu Hanifah (nama aslinya Nu’man bin Basyir) berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk dimulai ketika kalimat Syahadat dalam Tasyahud dan setelah selesai kalimat Syahadat kemdian kembali menurunkan telunjuknya. Beliau menerangakn hal ini karena mengangkat telunjuk untuk mengikrarkan ke-Esa-an Allah dan kultur budaya orang-orang Arab pada saat ini jika dikatakan kalimat Allah maka akan mengangkat telunjuknya.
Ini merupakan kelebihan dari Imam Abu Hanifah, beliau memiliki kecerdasan penalaran luar biasa. Jika beliau membaca sesuatu, bilau tidak hanya bersandar pada dalil tapi menafsikan dalil pada kaidah-kaidah bahasa, kultur dan logika.
Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk adalah saat mengucapkan Syahadat dan baru menurunkan ketika akan salam. Hal ini diambil berdasarkan pandangan bahwa dalam kalimat haditsnya, Nabi berdo’a dalam tsyahud dengan kondisi telunjuk masih terangkat. Sesuai dengan adab berdo’a yaitu syahadat lalu bershalawat kemudian berdo’a

Dari penjabaran pendapat di atas, belum mengomentari tentang menggerakkan jari.

Baru kemudian ada hadits yang datang dalam 12 matan (redaksi) disampaikan Syeikh Musthafa Al’Adawi. Semua 12 riwayat ini mengacu kepada Waail Ibnu Hujr. Dari 12 riwayat itu ada yang bernama Ziyad bin Qudamah, redaksinya sama dengan riwayat Ibnu Umar tapi ada tambahan yaitu ketika diangkat sambil digerak-gerakkan (yuharrikuha)
Dari riwayat ini menjelaskan bahwa menggerakkan jari telunjuk dengan saat diangkatnya adalah sah dan dibolehkan.

Jadi jika nanti ada yang berpendapat mengangkat tanpa menggerak-gerakkan jari, pendapat itu juga sah dab dibolehkan. Dan jika ada yang menggerakkan saat diangkat ini juga pendapat yang sah.

Namun jika ditanyakan pendapat mana yang paling kuat dan sering dilakukan oleh Rasullullah, maka dijelaskan bahwa dari 12 riwayat yang menerima dari Waail Bin Hujr. Hanya satu periwayat saja yang mengatakan ada tambahan (yuharrikuhaa) saat mengangkatnya. Selebihnya atau sebelas orang periwayat lainnya tidak ada tambahan menggerak-gerakkan. Diantara sebelas orang itu ada Salam bin Sulaim, Sufyan ats Tsauri, Sufyan ibnu Uyainah, Juhair, Bisyar al mufadlol dll.
Para ulama mengeluarkan pendapat bahwa jika ada satu riwayat bertentangan dengan kebanyakan riwayat lainnya, maka yang paling kuat adalah yang banyak periwayatnya. Namun tetap yang sedikit itu dianggap shahih dan sah dilakukan. Khususnya dalam hadits yang mengacu pada Waail bin Hujr.

Sekali lagi, hal yang paling penting dalam menanggapi perbedaan ialah rasa saling menghormati antar pendapat. Teringat sebuah percakapan antara Imam Ahmad bin Hambal yang ditanyakan tentang qunut Shubuh oleh muridnya. Beliau menjawab bahwa Qunut dalam Shalat Shubuh adalah bid’ah, namun jika aku shalat di-imami oleh imam yang ber-qunut. Maka akan aku amin kan. Terlihat sangat tidak konsisten oleh muridnya, tapi menjawab bahwa aku melakukan hal ini menyatukan hati umat islam. Begitu sangat mulia akhlaq para ulama terdahulu. Tidak menguatkan ego pribadi melainkan tetap menjaga kesatuan diantara perbedaan yang ada.

Semoga kita dapat bijak dalam bersikap, sehingga kita tidak saling menyalahkan sesama umat muslim.

Wallahu’alam bishowab...

No comments:

Post a Comment